Kehidupan dunia yang setiap harinya berjalan dengan ribuan bahkan jutaan aktivitas baik yang menoton maupun yang penuh dengan dinamika. Tapi apakah anda pernah sedikit saja merenung bahwa realitas kehidupan itu adalah refleksi dari pendidikan yang anda peroleh.
Ketika anda memperhatikan di jalan raya ada begitu banyak pengendara sepeda motor yang ugal-ugalan dan salip menyalip, seolah jalan adalah miliknya, tak ada waktu untuk menunggu, tak peduli apapun akibat yang akan terjadi. Lalu mengapa hal itu terjadi?
Karena sejak kecil mereka dididik untuk serba cepat, waktu adalah segalanya, tapi mereka lupa bahwa kunci untuk menghargai waktu adalah dengan kesabaran. Dunia pendidikan telah keliru. Mengedepankan nilai-nilai kedisiplinan tapi lupa untuk menanamkan kesabaran. Padahal sabar merupakan salah satu unsur kehidupan yang maha penting.
Apa jadinya jika anda mengalami kecelakaan hanya karena buru-buru dan seolah dikejar waktu? Yang pasti keselamatan menjadi taruhannya. Bukan hanya keselamatan anda, tetapi juga keselamatan orang lain. Bukankah hal itu sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah" jika anda mau bersabar?
Anda pasti sering melihat bagaimana kegaduhan yang menimpa orang-orang kelas atas yang seharusnya menjadi teladan negeri ini. Terlibat dalam peraduan argumen omong kosong yang tidak seharusnya dipertontonkan kepada rakyat. Bukankah hal itu akan berdampak buruk bagi citra mereka sendiri? Apakah mereka bodoh dan tidak berpendidikan? Tentu saja tidak.
Mereka adalah orang-orang terbaik dengan kualitas pendidikan yang memadai. Hanya saja mereka "gagal" memaknai nilai-nilai sakral dalam dunia pendidikan.
Pendidikan adalah kunci dan pondasi untuk membangun realitas kehidupan yang kokoh dan berkarakter. Ah, mungkin saya terlalu berbelit-belit, tetapi coba renungi sebuah ilustrasi fiksi berikut ini..
"Suatu hari seorang Raja sedang berjalan di luar istananya untuk sekedar melihat suasana kehidupan rakyat. Ketika sedang berjalan sang raja tersebut menginjak kerikil yang tajam sehingga membuat kakinya terluka. Dia pun berniat untuk memperbaiki jalanan agar ketika dia berjalan nanti tidak akan pernah mengalami hal yang sama.
Sang Raja pun memerintahkan seluruh menterinya agar melapisi jalan yang berkerikil itu dengan kulit sapi yang sangat banyak. Para menteri kerajaan mulai bekerja dan mencari persediaan sapi sebanyak mungkin.
Ditengah kesibukan yang luar biasa itu, datanglah seorang pertapa kepada sang raja. Ia lalu berkata kepada sang raja : "wahai yang mulia, mengapa yang mulia hendak membuat sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan-jalan berkerikil itu, padahal sesungguhnya yang mulia perlukan hanyalah dua potong kulit sapi untuk melapisi kaki yang mulia saja."
Mendengar nasehat pertapa itu kemudian membuat sang raja sadar dan tertegun. Betapa dirinya telah melakukan kesalahan dan mungkin akan berakhir pada pemborosan dan kesia-siaan. Padahal yang ia perlukan hanya sedikit kulit sapi saja. Sang raja akhirnya membatalkan rencana untuk melapisi jalan berkerikil itu."
Apa yang bisa kita pelajari dari ilustrasi fiksi singkat di atas? Pelajaran Kehidupan.
Terkadang manusia lupa bahwa dunia yang ia tempati dan dunia disekitarnya adalah hasil dari representasi dirinya sendiri. Kelupaan tersebut tentu saja akan berujung pada keegoisan diri. Memandang dunia sebagai milik sendiri sehingga segala sesuatu, apapun itu, harus dikorbankan agar keinginan dirinya terpenuhi.
Bukankah itu merupakan suatu kesalahan jika memandang dunia sebagai milik pribadi semata? bukankah itu kecerobohan jika sang raja harus mengorbankan ribuan sapi sedangkan yang ia butuhkan sebenarnya sangatlah sedikit?
Sosok pertapa itu adalah sosok manusia yang bijak dan berilmu serta mampu memberikan hikmah bahkan bagi orang yang status sosialnya berada pada tingkatan atas. Saya kira itulah sosok sejati manusia yang berpendidikan. Bukan gelar dan pangkat yang menjadikan anda manusia terdidik melainkan implementasi dari ilmu yang anda dapatkan.
Semakin banyak ilmu seseorang maka akan semakin besar sumbangsi kepada semua orang, dan itulah kesuksesan sejati dalam kehidupan. Karena sukses bukan saya, dia, dan mereka. Tetapi sukses adalah kita.
Ketika anda memperhatikan di jalan raya ada begitu banyak pengendara sepeda motor yang ugal-ugalan dan salip menyalip, seolah jalan adalah miliknya, tak ada waktu untuk menunggu, tak peduli apapun akibat yang akan terjadi. Lalu mengapa hal itu terjadi?
Apa jadinya jika anda mengalami kecelakaan hanya karena buru-buru dan seolah dikejar waktu? Yang pasti keselamatan menjadi taruhannya. Bukan hanya keselamatan anda, tetapi juga keselamatan orang lain. Bukankah hal itu sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah" jika anda mau bersabar?
Anda pasti sering melihat bagaimana kegaduhan yang menimpa orang-orang kelas atas yang seharusnya menjadi teladan negeri ini. Terlibat dalam peraduan argumen omong kosong yang tidak seharusnya dipertontonkan kepada rakyat. Bukankah hal itu akan berdampak buruk bagi citra mereka sendiri? Apakah mereka bodoh dan tidak berpendidikan? Tentu saja tidak.
Mereka adalah orang-orang terbaik dengan kualitas pendidikan yang memadai. Hanya saja mereka "gagal" memaknai nilai-nilai sakral dalam dunia pendidikan.
Pendidikan adalah kunci dan pondasi untuk membangun realitas kehidupan yang kokoh dan berkarakter. Ah, mungkin saya terlalu berbelit-belit, tetapi coba renungi sebuah ilustrasi fiksi berikut ini..
Sang Raja pun memerintahkan seluruh menterinya agar melapisi jalan yang berkerikil itu dengan kulit sapi yang sangat banyak. Para menteri kerajaan mulai bekerja dan mencari persediaan sapi sebanyak mungkin.
Ditengah kesibukan yang luar biasa itu, datanglah seorang pertapa kepada sang raja. Ia lalu berkata kepada sang raja : "wahai yang mulia, mengapa yang mulia hendak membuat sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan-jalan berkerikil itu, padahal sesungguhnya yang mulia perlukan hanyalah dua potong kulit sapi untuk melapisi kaki yang mulia saja."
Mendengar nasehat pertapa itu kemudian membuat sang raja sadar dan tertegun. Betapa dirinya telah melakukan kesalahan dan mungkin akan berakhir pada pemborosan dan kesia-siaan. Padahal yang ia perlukan hanya sedikit kulit sapi saja. Sang raja akhirnya membatalkan rencana untuk melapisi jalan berkerikil itu."
Apa yang bisa kita pelajari dari ilustrasi fiksi singkat di atas? Pelajaran Kehidupan.
Terkadang manusia lupa bahwa dunia yang ia tempati dan dunia disekitarnya adalah hasil dari representasi dirinya sendiri. Kelupaan tersebut tentu saja akan berujung pada keegoisan diri. Memandang dunia sebagai milik sendiri sehingga segala sesuatu, apapun itu, harus dikorbankan agar keinginan dirinya terpenuhi.
Bukankah itu merupakan suatu kesalahan jika memandang dunia sebagai milik pribadi semata? bukankah itu kecerobohan jika sang raja harus mengorbankan ribuan sapi sedangkan yang ia butuhkan sebenarnya sangatlah sedikit?
Sosok pertapa itu adalah sosok manusia yang bijak dan berilmu serta mampu memberikan hikmah bahkan bagi orang yang status sosialnya berada pada tingkatan atas. Saya kira itulah sosok sejati manusia yang berpendidikan. Bukan gelar dan pangkat yang menjadikan anda manusia terdidik melainkan implementasi dari ilmu yang anda dapatkan.
Semakin banyak ilmu seseorang maka akan semakin besar sumbangsi kepada semua orang, dan itulah kesuksesan sejati dalam kehidupan. Karena sukses bukan saya, dia, dan mereka. Tetapi sukses adalah kita.
Life's Most Persistent and urgent question is "what are you doing for others"? (Kutipan kata kata bijak dari Marthin Luther King)
Sekian, Wassalam!
Advertisement